Sabtu, 25 Februari 2012

RESUME CEDERA MEDULA SPINALIS

RESUME CEDERA MEDULA SPINALIS Oleh : Yayang Nur Enida
A. PENDAHULUAN Cedera medula spinalis terjadi sekitar 10.000 kasus pertahun, prevalensianya di Amerika kurang lebih 200.000 pasien, kira-kira 10.000 orang meninggal karena komplikasi yang berhubungan dengan cedera medula spinalis. Kasus baru cedera medula spinalis terjadi sekitar 15-50 per sejuta penduduk, sementara angka prevalensi sekitar 900 per sejuta. Cedera medula spinalis 80% terjadi pada pria usia sekitar 15-30 tahun. Menurut Prihardadi dan Prijambodo (1990), cedera tulang beakang yang masuk di RSUD Dr. Soetomo rata-rata 111 kasus per tahun. Sejak tahun 1983-1997 terdapat 1592 kasus yang dirawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Cedera medula spinalis (CMS) / cedera spinal adalah cedera pada tulang belakang yang menyebabkan penekanan pada medula spinalis sehingga menimbulkan myelopati dan merupakan keadaan darurat neurologi yang memerlukan tindakan cepat, tepat dan cermat untuk mengurangi kecacatan. Medula spinalis dapat mengalami cedera melalui beberapa mekanisme. Cedera primer meliputi satu/ lebih proses berikut dan gaya : kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi, dan trama tembak. Mekanisme yang paling sering ditemui adalah kombinasi dari benturan akut dan kompresi persisten yang terjadi pada burst fractur atau fraktur dislokasi dengan kompresi persisten pada medula spinalis oleh tulang, diskus, hhematom atau kombinasinya. B. KLASIFIKASI CEDERA MEDULA SPINALIS American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan standart internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai di banyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhemsif. Skala kerusakan menurut ASIA/ IMSOP Grade A Komplit Tidak ada fungsi motorik/ sensorik yg diinervasi o/ segmen sakral 4-5 Grade B Inkomlpit Fungsi sensorik tapi bukan motorik dibawah tingkat lesi dan menjalar sampai segmen sakral (S4-5). Grade C Inkomlpit Gangguan fungsi motorik di bawah tingkat lesi dan mayoritas otot-otot penting dibawah tingkat lesi memiliki nilai kurang dari 3. Grade D Inkomlpit Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan meyoritas otot-otot penting memiliki nilai lebih dari 3. Grade E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal. C. PATOFISIOLOGI Menurut Grover (2001) trauma pada medula spinalis seringkali menyebabkan gangguan langsung dan lengkap dari fungsi medula spinalis, meskipun demikian secara anatomis medula sendiri jarang ter-transeksi. Cedera primer ditimbulkan oleh adanya pengaruh kekuatan dan tekanan langsung terhadap medula spinalis yang mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah kecil intrameduler, menyebabkan perdarahan pada substantia grisea dan mungkin vasospasme. Semua ini mengakibatkan penurunan langsung aliran darah pada substantia grisea dan mungkin vasospasme. Semua ini mengakibatkan penurunan langsung aliran darah pada substantia grisea kemudian di ikuti oleh pengurangan yang serupa pada substantia alba. Akibat selanjutnya akan terjadi iskemik yang memacu peristiwa kaskade biokimiawi yang menadakan dimulainya proses cedera sekunder. Mekanisme cedera sekunder dapat dikategorikan sebagai mekanisme sistemik, ekstraseluler, intraseluler. Meskipun masih ada tumpang tindih, mekanisme sistemik cedera sekunder mencakup hemodinamika dan tejadi hipoksia. Sementara mekanisme ekstraseluler terutama edem dan cedera vaskuler yang mengakibatkan vasospasme, iskemik dan perdarahan. Mekanisme ntraseluler dalam neuron dan glia terdiri atas banyak proses seperti eksitotoksisitas dan produksi radikal bebas. Mekanisme trauma banyak tergantung pada jenis penyebab terjadinya trauma, yaitu : 1. Kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi. 2. Jatuh dari ketinggian lebih dari 3 kali tubuh pasien. 3. Beban aksial tinggi seperti pada cedera saat menyelam. 4. Kekerasan di daerah spinal : tikaman, tembakan. 5. Kecelakaan olahraga. D. CEDERA WHIPLASH Gerakan tiba-tiba hyperekstensi kemudian di ikuti hyperpleksi cevikal, menyebabkan cedera jaruingan lunak spinal, tidak ada kerusakan medula spinalis. Cedera whilplas tingkat I hanya berupa keluhan nyeri dan kekakuan leher, sementara tingakt II disertai dengan terbatasnya ROM (Range Of Movement) dan adanya beberapa titik nyeri. Beberapa gejala yang ditemukan pada cedera whiplash adalah : 1. Nyeri leher yang bertambah pada 24 jam pertama. 2. Nyeri kepal, nyeri menjalar (radiating ke arah ke dua pundak dan parestesi pada tangan). 3. Gerak fleksi lateral berkurang. 4. Fleksi kedepan (Poruard Flekxion) melawan tahanan menyebabkan nyeri. 5. Sekitar 90% asim petomatik setelah 2 tahun, sementara 10% kasus masih merasakan nyeri E. GEJALA dan TANDA-TANDA KLINIS Cedera medula spinalis mempunyai gambaran klinik yang berbeda-beda tergantung letak lesi dan luasnya, dan dapat bibedakan menjadi 4 kelompok yaitu : Syndroma Kausa Utama Gejala & Tanda Klinis Hemikord (Brown Sequard Syndrome) Cedera tembus, kompresi, ekstrinsik. Gangguan kontra lateral, parese ifsilateral, gangguan profioseptif ifsilateral, rasa raba normal Syndroma Spinalis Anterior (Anterior Kord Syndrome) Inpark spinalis anterior, HNP iskemik akut. Gangguan sensorik bilateral, propioseftif normal, parese, UMN dibawah lesi, paresi, LMN setinggi lesi, disfungsi spingter. Syndroma Spinalis Central (Central Cord Syndrome) Syringomyelia,hypotensife spinal cord iskemik, trauma spinal (Fleksi ekstensi), tumor spinal Parese LMN pada lengan, parese tungkai dan spastisitas. Nyeri hebat dan hiperpati, gangguan sensorik pada lengan, disfungsi spingter/ retensio urin. Syndroma Spinalis Posterior (Posterior Cord Syndroma) Trauma, infark, a.spinalis posterionr Gangguan propioseftif bilaterla, nyeri dan parestesi pada leher, punggung dan bokong, parese ringan. Berdasarkan letak tinggi lesi, cedera medula spinalis dapat dikelompoka menjadi : 1. Servikal Cedera C1-C3 : a. Fungsi : rotasi/ fleksi/ekstensi leher, bicara dan menelan. b. Lumpuh ke empat anggota gerak, gerak kepala dan leher sangat terbatas, aktifitas harian dependen total, pernapasan tergantung pada ventilator. c. pada trauma gantung (Hangmans Fraktur) terjadi fraktur fediker bilateral dam apulsi arkus lamina. Cedera C4 : a. Fungsi kontrol gerak kepala/ leher/pundak, inspirasi (diagfragma). b. Seperti lesi C1-C3 namun pernafasan tanpa respirator walaupun refleks batuk menurun. Komunikasi lebih baik dari C1-C3. Cedera C5 : a. Fungsi gerak leher, pundak, supinasi tnagn. b. Masih dapat makan, minum, gosok giggi, namun untuk bab, bak harus dibantu. Cedera C6 : a. Fungsi : ekstensi dan fleksi pergelangan tangan, ekstensi siku (elbow). b. Mungkin dapat berdiri untuk bab dan bak. Cedera C7 : a. Fungsi : fleksi dan ekstensi siku (elbow). b. Semua gerak tangan dapat dilakukan. Cedera C8-T1 : a. Fungsi fleksi dan ekstensi jari, gerak ibu jari, mengipasakan jari tangan. Semua gerak tangan bisa dilakukan. b. Pasien bisa independen. 2. Torakal Pada lesi tingakt torakal bisa terjadi peralisis plasid, gangguan fungsi kemih dan sensasi dibawah tingkat lesi. Dapat terjadi ileus paralitik temporer. Pada cedera T1-T2 pasien biasanya independen dan hanya membutuhkan bantuan untuk pekerjaan rumah yang berat. 3. Lumbo sakral Cedera L1-L5 (Fungsi : fleksi paha, ekstenli lutu, dorso fleksi ankle, ekstensor ibu jari kaki) dan cedera S1-S5 (Fungsi : plantar fleksi ankle, fungsi bab, bak, sexsual), biasaya pasien independen terdapat beberapa hal khusus pada berkaitan dengan medula spinalis akut : - Sakral spharing Suatu keadaan utuhnya fungsi radiks saraf sakra seperti gerakan ibu jari kaki/ sensari perianal. Keadaan ini menunjukan kemungkinan dapat pulihnya fungsi saraf. - Syok Neurogenik Cedera yang menyebabkan hilangnya kontrol otak pada tubuh, sehingga terjadi keadaan pasoparalisys (tonus simpatis) yang menyebabkan keadaan syok, yaitu a. Lesi diatas Th-6 (Lesi servikal/ thorakal tinggi) b. Terjadi dalam menit/ jam (penurunan katekolamin dapat terjadi dalam 24 jam). c. Terputusnya persarafan simpatis mulai Th-1 samapai L2. d. Tonus pagal yang tidak sejalan. e. Pasodilatasi perifer (arteri dan vena) menyebabkan hipovolemik. f. Kardiac out put menurun. g. Penurunan pelepasan epineprin sehingga terjadi hipotensi, bradikardi dan vasodilatasi dan hipotermi. h. Pertimbangankan suatu syok hemoragik jika cedera dibawah Th-6 terdapat cedera mayor lain. - Syok Spinal Merupakan suatu keadaan depresi refleks psikologis (a. Refleksia) yang sementara (gegar medula spinalis) dengan gejala: a. Mekanisme syok spinal belum jelas, diduga karena disfungsi mebran akson dan neuronal yang bersifat sementara, menyebabkan gangguan keseimabangan neurotransmiter dan elektrolit. b. Hilangnya tonus anal, refleks, dan kontrok otonom dalam 24-72 jam. c. Hipotensi, bradikardi, hipermia pada kulit, akral hangat, gangguan kontrol suhu. d. Paralisis plasid, gangguan kontrol BAK dan BAB, serta priapism berkepanjangan. e. Dapat terjadi beberapa jam setelah cedera dan bertahan beberapa hari hingga bebberapa bulan hingga pulihnya lengkung refleksi neural dibawah lesi, kecuali jka terjadi kerusakan yang berta pada medula spinalis. f. Makin tinggi letak lesi dan makin berat cedera yang terjadi menyebabkan syok spinal makin berat dan lama. F. KRITERIA DIAGNOSIS Tergantung dari letak dan tipe lesi medula spinalis dan vetebra. Lesi medula spinalis : 1. Lesi komplit (Total) medula spinalis a. Hilangnya seluruh modalitas sensorik dibawah ini tempat lesi. b. Tetraplegi/ paraplegi c. Kontrol miksi dan deveksi menghilang. d. Aktifitas refleksi mula-mula menghilang kemudian meningkat (Hiperrefleksi). e. Gangguan termoregulasi jika diatas segmen Th9-Th10. f. Hipotensi ortostatik dapat terjadi pada pase akut. 2. Lesi Parsial a. Lesi anterior : bilateral paresis dan hilangnya sensassi nyeri dan temperatur dengan sensasi posisi, sentuhan dan pibrasi relatif utuh disebelah kranial dari lesi. b. Lesi unilateral (Brseqsind) : ifsilateral paresis, hilangnya sensasi propioseftif, ipsilateral, hilangnya sensasi nyeri dan temperatur kontalateral. c. Lesi sentral : Paresis berat setinggi lesi, gangguann sensasi nyeri dan temperatur berifat segmental dan disosiatif. 3. Lesi Vetebral a. Adanya depormitas b. Pembengakakan c. Nyeri setempat d. Keterbatasan gerakan spinal. G. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium : a. Darah perifir lengkap b. Gula darah sewaktu, ureum, kreatin. 2. Radiologi : a. Fhoto vetebra posisi ape/ laterla dengan sentrasi sesuai dengan letak lesi. b. CT Scan/ MRI jika diperlukan tindakan opererasi. MRI menggambarkan keadaan jaringan dan medula spinalis dengan lebih akurat. c. Myelografi/ CT Mielografi dilakukan jika tidak tersedia MRI. 3. Neurofisikologi Klinik : a. MMG b. NCV c. SSEP H. PENATALAKSAAN Pada prinsipnya terapi cedera medula spinalis ditujukan untuk : 1. Melindungi medula spinalis dari kerusakan lebih lanjut. 2. Mempertahankan struktur tulang belakang yang memungkinkan pemulihan maksimal pada lesi inkomplit. 3. Mencapai stabilitas vetebra yang memungkinkan rehabilitasi. Suatu hal penting dalam trauma medula spinalis adalah terjadinya kerusakan sekundeer menyusul terjadinya trauma mekanik yang menybabkan kerusakan langsung/ primer pada medula spinalis. Meskipun cedera sekunder diawali sejak saat trauma,maupun punya kecenderungan untuk memburuk selama beberapa jam pertama ssetelah trauma. Tapi setelah rentang waktu tersebut potensial untuk mencegal/ mengurangi proses kerusakan ini. Makin parah cederanya maka proses cedera sekundernya makin awal dan makin berat. Perhatikan khusus harus diberikan pada kelompok apsien tertentu yaitu pada : 4. Pasien anak-anak 5. orangtua lebih dari usia 55tahun : risiko artritis servikal degeneratif. 6. Sindrom down : risiko instabilitas atlanto/ aksial. 7. Spina bavida. 8. Penyakit tulang degeneratif. 9. Tumor vetebra : risiko fraktur patologis. Penatalaksanaan ceera medula spinalis meliputi : 1. Umum a. Jika ada fraktur/ dislokasi kolumna vetebralis servikalis dan torakal atas imobilisasi servikal dan torakal saat transfer pasien segera pasang kerah viksasi leher/ (cervikal koller). b. jika ada fraktur kolumna vetebratis torakalis bawah, angkut pasien dalam keadaan tertelugkup untuk menjamin ekstensi ringan vetebra, lakukan viksasi torakal (pakai korset). c. Fraktur daerha lumbal, vikasai dengan korset lumbal. d. Kerusakan medula spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh darah menurun karena paralisis fugsi sistem saraf simpatik, akibatnya tekanan darah turun, beri infus bila mungkin plasma, dekstran 40/ ekspapusin. Sebaliknya jangan diberikan cairan isotonik seperti Nacl 0,9%/ glukosa 5%. Bila perlu berikan adrenalin 0,2 Mg Sc boleh diulang 1 jam kemudian bila denyut nadi lebih kecil dari 44 kali/ menit, beri sulfas atrofin 0,25 Mg IV. e. Gangguan pernafasan kalo perlu beri bantuan dengan respirator/ cara lain dan jaga jalan nafasa tetap longggar. f. Jika lesi diatas C8, termoregulasi tidak ada, mungkin terjadi hiperhidrosis usahakan suhu badan tetap normal. g. Jika ada gangguan miksi, pasang kondom kateter/ douet kateter dan jika ada gangguan defekasi laksan/ klisma. 2. Medika Mentosa a. Berikan metil prednisolon : dosis 30 Mg/ Kgbb, IV perlahan-lahan selama 15 menit. Metil prednisolon mengurangi kerusakan membran sel yang berkontribusi pada kematian neuron, mengurangi infalamasi dan menekan aktifitas sel-sel imun yang mempunyai kontribusi serupa pada kerusakan neuron dan peningkatan sekunder asam arakidonat mencegah peroksidasi lemak pada membran sel. b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan : - Diazepam 3x5/ 10 Mg/Hari - Baklopen 3x5 Mg hingga 3x 20 Mg sehari c. Bila ada rasa nyeri bisa diberikan : - Analgetika - Anti depresan d. Bila terjadi hipertensi (tensi lebih besar 180/100mmhg) dapat diberikan obat anti hipertensi. 3. Tindakan Operatip a. Tindakan operatif dilakukan jika ada fraktur dislokasi vetebra yang labil/ penceghan tulang yang menekan medula spinalis. b. Gangguan neurologis progesif memburuk c. Terjadi herniasi diskus intervetebralis yang menekan medula spinalis. 4. Neuro Rehabilitasi Rehabilitasi dini untuk mencegah spasme fleksor bila perlu dengan gunakan splin khusus. Rehabilitasi medik termasuk terapi fisik, okupasional dan okasional. Tujuan : a. Penerangan dan pendidikan kepada pasien dan keluarga. b. Memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan slef-care/ latihan langsung jika diperlukan. c. Latih miksi dan defekasi rutin. d. Mencegah komurbiditi (kontraktur, dekubitus, infeksi paru dll). e. Nilai psikologis, semangat hidup, dan hubungan komunitas. f. Tentukan tujuan jangka panjang berdasarkan beratnya cedera dan sumber keluarga/ komunitas. g. mendorong untuk semaksimal mungkin untuk mandiri h. waspada : atelektase paru/ pnemoni. i. Mencegah defiti (deef Vein Thrombosis). j. Mencegah dekubitus. I. Di RUANG GADAR Penatalkasanaan di ruang gadar sbb : 1. Identifikasi pasien 2. Anamnesis : kualitas dan distribusi nyeri, hal yang meringankan dan memperberat nyeri. 3. Pemeriksaaan fisik Penilaian awal (primary survei) dan penilaian lanjutan a. A = airway B= Breathing C= Circulation b. Pemeriksaan neurologis cepat c. Dokumentasi level cedera d. Pikirkan kemungkinan cedera di tempat lain seperti abdomen, thorak, anggota gerak dan kepala. e. Amus A = altenered mental stated. Adakah penggunaan alkohol atau drug abuse. M = Mechanism. Adakah keadaan potensial terjadinya cedera. U = Underlying condition. Adakah risiko tinggi terjadinya fraktur. S = Symptom. Adakah nyeri parestesi, depisit neurologis. T = Timing. Kapan gejala timbul setelah trauma. f. Penatalaksanaan secara hati-hati dan ceramt terutama bila pasien tidak sadar. Pasein tidak sadar harus diamati : Pernafasan diafragmatik, tanda syok neurogenik (hipotensi, bradikardi), tanda syok spinal (a refleksiapacid), hilangnya inervasi extensor dibawah C5, respon nyeri hanya diatas klapikula, priapism. g. Dapat dilakukan manufer jawthrust. h. Perbaiki deformitas umum vetebra. i. Konsultasi bagian anestesi jika ada paralisis diagfragma/ respirasi lebih besar 35x/menit. j. Atasi bila ada hipotensi. k. Pertahankan tekanan arteri rata-rata 60-90mmhg selama 7 hari pertama perawatan untuk menghindari keadaan iskemia. l. Kateterisasi kandung kemih. m. Cairan intra vena. n. Atasi segera nyeri dengan diberikan analgetik, jika perlu opiat dosis kecil. o. Pertahankan suhu tubuh normal. J. PASCA PERAWATAN Komplikasi yang sering terjadi saat perawatan adalah : 1. Lesi diatas C4 dapat terjadi depresi pernapasan. 2. Pada cedera servikal dan torakal bisa terjadi paralisis otot intercostal dan otot abdomen. 3. Gangguan kardiovaskuler seperti bradikaria. 4. Retensi urin bisa terjdi karena atonik kandung kencing yang menyebabkan operditensi. 5. Lesi di atas Th5 bisa menyebabkan hipomootilitas saluran pencernaan , bila perlu berikan H2blocker dan pasang NGT. 6. Gangguan BAB jika lesi dibawah Th12. 7. Potensi luka pada kulit dan dekubitus. 8. Gangguan termoregulasi. 9. Trombosis vena dalam. 10. Automonik disrefleksia, merupakan komplikasi utama dan keadaan gadar dengan gejala berat yang mengancam jiwa dengan gejala hipertensi akut, bradikardia, kemerahan/ flushing dan berkeringan pada wajah, leher, lengann, nyeri kepala hebat, berkeringat (diaponesis), penglihatan kabur. Hal ini disebabkan adanya “badai otonom” yang terjadi pada fase akut cedera medula spinalis. DAFTAR PUSTAKA • Setiawan iwan, Maulida Intan. 2010. Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya, Pacitan. • Perawatemergency.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar