Sabtu, 25 Februari 2012
Retensi urin
Retensi urin
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Retensi Urin merupakan suatu keadaan darurat urologi yang paling sering ditemukan dan
dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Berarti bahwa seorang dokter atau perawat dimanapun dia bertugas kemungkinan besar pernah atau akan menghadapi kelainan ini. Oleh karena itu, yang bersangkutan harus bisa mendeteksi kelainan tersebut dan selanjutnya dapat melakukan penanganan awal secara benar. Bilamana retensi urin tidak ditangani sebagaimana mestinya, akan mengakibatkan terjadinya penyulit yang memperberat morbiditas penderita yang bersangkutan. Pada dasarnya tidak diperlukan peralatan maupun ketrampilan yang khusus untuk mendeteksi dan menangani penderita dengan retensi urin, apapun yang menyebabkan terjadinya kelainan tersebut.
Permasalahan yang sering dihadapi seorang dokter atau seorang perawat adalah retensi urin tidak dideteksi karena kelainan ini tidak terpikirkan, penderita tidak mengeluh atau
mengatakan bahwa masih bisa kencing secara berkala (inkontinensi paradoksa). Retensi menambah penderitaan atau menimbulkan penyulit yang merugikan, bahkan bersifat
permanen dan hal ini dapat terjadi karena dokter atau perawat menangani kelainan tersebut tanpa memperhatikan persyaratan yang ditentukan, belum berpengalaman atau peralatan yang dibutuhkan tidak dimiliki.
Kemajuan bidang kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup manusia sehingga angka harapan hidup manusia juga meningkat. Hal ini membawa konsekuensi pada pertambahan jumlah penduduk usia lanjut. Sedangkan insiden pembesaran 48 prostat jinak (BPH) sejalan dengan pertambahan usia. Sehingga jumlah pasien yang memerlukan tindakan baik non operatif maupun operatif juga mengalami peningkatan. Di Amerika, jumlah pasien BPH dengan retensi urin sebanyak 27.1% dan lainnya sudah datang pada saat mengalami 38 prostatisme. Diklinik RSUD Dr. Soetomo jumlah pasien BPH yang mengalami retensi urin lebih banyak dibandingkan dengan yang hanya disertai gejala prostatisme yaitu sebesar 78%. Kapasitas dan kemampuan RS yang relatif tetap, akan membuat waktu tunggu makin panjang. Pada pasien yang menggunakan kateter menetap maka biaya yang dikeluarkan juga akan bertambah besar, belum lagi adanya resiko infeksi saluran kencing. Schaeffer AJ menyebutkan bahwa factor yang terbanyak adalah akibat tindakan instrumentasi uretra termasuk kateterisasi.46 Sullivan dan kawan-kawan (1973) sekitar 8% tindakan kateterisasi akan mengakibatkan bakteremia yang terbukti pada pemeriksaan kultur darah. Keluhan pasien BPH tersebut dapat membaik secara klinis 3,29 pada 50% kasus tanpa perlu dilakukan tindakan operatif. 6-8 Caine dan kawan-kawan telah melaporkan bahwa pemakaian alfa-1-bloker pada BPH memberikan hasil yang baik, dan hal ini didukung juga oleh penelitian yang dilakukan 30-35 Lepor dan kawan-kawan. Caine pernah melaporkan juga penggunaan alfa-1-bloker Phenoxybenzamin pada penderia BPH dengan retensi urin, dari delapan pasien yang mengalami retensi urin, lima diantaranya bisa miksi spontan setelah 8,31 diobati phenoxybenzamin.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah KDDK II.
b. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang resistensi urin dari materi yang dicari diluar bangku kuliah.
1.3 Masalah
- Bagaimana pemenuhan kebutuhan dasar pada klien dengan retensitas urin.
- Bagaimana terapi untuk klien dengan retensitas urin.
- Bagaimana mengkaji lokasi, intensitas nyeri pada klien retensitas urin.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Retensi urin menurut Stanton adalah ketidakmampuan berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, karena tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih.
Dr. Basuki Purnomo dari FK Unbraw mengatakan, bahwa retensi urin adalah ketidakmampuan buli-buli (kandung kencing) untuk mengeluarkan urin yang telah melampaui batas maksimalnya. Pada ibu melahirkan, aktivitas berkemih seyogyanya telah dapat dilakukan enam jam setelah melahirkan (partus). Namun apabila setelah enam jam tidak dapat berkemih, maka dikatakan sebagai retensi urin postpartum.
Pendapat dari Psyhyrembel menyatakan, bahwa retensi urin postpartum adalah ketidakmampuan berkemih secara normal 24 jam setelah melahirkan (ischuria puerperalis). Adapun kepustakaan lain mendefinisikan retensi urin postpartum sebagai tidak adanya proses berkemih spontan setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan namun urin sisa lebih dari 150 ml.
Adapula yang mengatakan bahwa retensi urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari fesika urinaria. (Kapita Selekta Kedokteran).
Retensio urine adalah tertahannya urine di dalam kandung kemih, dapat terjadi secara akut maupun kronis. (Depkes RI Pusdiknakes 1995).
Retensi urine adalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun terdapat keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut. (Brunner & Suddarth).
Retensio urine adalah sutau keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan tidak punya kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna. (PSIK UNIBRAW).
2.2 Etiologi
Adapun penyebab dari penyakit retensio urine adalah sebagai berikut:
- Supra vesikal berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinallis, Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian ataupun seluruhnya, misalnya: pada operasi miles dan mesenterasi pelvis, kelainan medulla spinalis, misalnya miningokel, tabes doraslis, atau spasmus sfinkter yang ditandai dengan rasa sakit yang hebat.
- Vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada pasien DM atau
penyakit neurologist, divertikel yang besar.
- Intravesikal berupa pembesaran prostate, kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil, tumor pada leher vesika, atau fimosis.
- Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran porstat, kelainan patologi urethra (infeksi, tumor, kalkulus), trauma, disfungsi neurogenik kandung kemih..
- Beberapa obat mencakup preparat antikolinergik â antispasmotik (atropine), preparat antidepressant antipsikotik (Fenotiazin), preparat antihistamin (Pseudoefedrin hidroklorida=Sudafed), preparat penyekat Îadrenergic (Propanolol), preparat antihipertensi (hidralasin).
2.3 Patofisiologi
Pada retensi urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan. Retensi urine dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan factor lainnya seperti ansietas, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya.
Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa kerusakan pusat miksi di medulla spinalsi menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan terjadi dilatasi bladder
kemudian distensi abdomen. Factor obat dapat mempengaruhi prosesBAK, menurunkan tekanan
darah, menurunkan filtrasi glumerolus sehingga menyebabkan produksi urine menurun. Factor
lain berupa kecemasan, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat
meningkatkan tensi otot perut, peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan
baik.
Dari semua factor di atas menyebabkan urine mengalir labat kemudian terjadi poliuria karena
pengosongan kandung kemih tidak efisien.Selanjutnya terjadi distensi bladder dan distensi
abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah satunya berupa kateterisasi urethra.
2.4 Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala atau menifestasi klinis pada penyakit ini adalah sebagai berikut:
a. Diawali dengan urine mengalir lambat
b. Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena pengosongan kandung
kemih tidak efisien. c. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
d. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.
e. Pada retensi berat bisa mencapai 2000-3000 cc.
2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada retensio urine adalah sebagai berikut:
a. Kateterisasi urethra.
b. Dilatasi urethra dengan boudy.
c. Drainage suprapubik
DAFTAR PUSTAKA
Widjoseno Gardjito Lab/UPF Ilmu Bedah. FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Erfandi. konsep dasar penyakit. Jakarta: 2000.
semoga bermanfaat ^_^
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar