Senin, 27 Februari 2012

Pengembangan metodologi islam mahaj tarjih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai sebuah organisasi Islam yang sangat besar, Muhammadiyah banyak menarik minat orang. Latar belakang ketertarikan tersebut bermacam-macam dari yang bersifat ideologis, sampai yang bercorak pragmatis, dari yang sakral sampai yang profan. Bagi mereka yang tertarik dan menjadi bagian organisasi ini yang memandang Muhammadiyah sebagai ideologi keagamaan yang sakral, segala bentuk formalitas organisatoris merupakan suatu yang sekunder bukan primer. Bagi mereka ini yang bersifat primer adalah ideologi keagamaan Muhammadiyah itu sendiri, dalam arti bahwa jalan kebenaran adalah semata-mata mengikuti teladan Nabi Muhammad saw, mengingat muhammadiyyah itu sendiri berarti upaya menisbatkan diri kepada beliau, sebagai antitesa terhadap segala penisbatan diri kepada yang lain, seperti Malikiyyah, Syafi’iyyah dan sebagainya. Tentu saja disamping ini ada pula yang tertarik dan menjadi bagian warga Muhammadiyah bukan karena latar belakang ideologi keagamaan ini. Oleh karena esensi dari gerakan Muhammadiyah adalah menyampaikan ideologi keagamaan tersebut, maka lebih penting menjadikan ideologi ini sebagai ukuran kemuhammadiyahan seseorang dari pada ukuran formalitas organisatoris. Hal ini juga berarti bahwa upaya untuk menyebarkan, menjelaskan dan menanamkan ideologi ini jauh lebih penting dari pada mengurus formalitas organisatoris. Kegagalan menanamkan ideologi ini, menyebabkan Muhammadiyah kehilangan esensinya, kemudian yang tinggal hanya dimensi lahiriahnya belaka. Upaya untuk memelihara ideologi keagamaan Muhammadiyah ini kemudian dilembagakan dengan membentuk Majlis Tarjih yang dalam perkembangan terakhir sejak mu’tamar ke 43 di Aceh disempurnakan menjadi Majlis tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Dalam kontek demikian, menjadi sangat penting bagi warga Muhammadiyah untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan majlis tersebut, lebih-lebih jika warga tersebut adalah para pendidik yang bertugas di institusi pendidikan Muhammadiyah. Salah satu pemikiran Persyarikatan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam menggunakan sebuah metode "Manhaj Tarjih". Dalam salah satu pokok-pokok Manhaj tarjih Muhammadiyah, pada poin keempat dikatakan bahwa "Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya keputusan Majlis tarjih paling benar." Keputusan diambil atas landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat memberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih akan mempertimbangkan untuk mengubah keputusan yang telah ditetapkan, yang telah diputuskan oleh para pakar dalam bidang agama maupun disiplin ilmu yang lain dilihat dari sudut kebenaran maka keputusan Majelis Tarjih lebih mendekati kebenaran dari keputusan seorang ulama, dengan demikian walaupun para ulama sepakat, nemun mereka menyadari bahwa keputusan majelis tarjih bukan merupakan keputusan yang paling benar, sehingga dimungkinkan dapat merubah keputusan yang lama. Sejalan dengan itu pernyataan John Stuart Mill mengatakan bahwa kebenaran yang berasal dari institusi merupakan kebenaran yang dijadikan acuan semua kebenaran lain. BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Singkat Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Dalam Konggres Muhammadiyah ke-16 pada tahun 1927 di Pekalongan KH Mas Mansur al-Marhum yang ketika itu menjabat sebagai konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya mengusulkan agar didirikan semacam majlis ulama yang secara khusus bertugas membahas masalah-masalah agama. Usul tersebut berdasarkan pertimbangan adanya kekhawatiran timbul perpecahan di kalangan orang-orang Muhammadiyah , terutama ulama’nya karena perbedaan paham dalam masalah-masalah hukum agama. Perbedaan-perbedaan demikian sebagaimana terbukti dalam sejarah telah menyebabkan pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam, terutama ulama’nya sehingga timbullah madzhab-madzhab dan kefanatikan terhadapnya, sehingga meretakkan ukhuwah Islamiyah dan menghancurkan persatuan umat Islam. Beliau juga khawatir kalau Muhammadiyah sampai menyimpang dari hukum agama, karena mengejar kebesaran lahiriyah mengabaikan tujuan utamanya. Akhirnya usul tersebut diterima secara aklamasi, dan sejak itulah berdiri Majlis Tarjih – yang kemudian dalam Mu’tamar Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Aceh disempurnakan menjadi Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam - sampai sekarang ini. Dalam Muktamar Muhamadiyah ke-17 pada tahun 1928 di Yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majlis Tarjih Pusat yang diketuai oleh KH. Mas Mansur dan disekretarisi oleh Kh. Aslam Z. dilengkapi dengan beberapa anggota pengurus. Dibuat pula anggaran dasar atau qaidahnya antara lain berbunyi: Bahwa Tugas Majlis Tarjih adalah: 1. Mengamat-amati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama. 2. Menerima, menyelidiki, dan mentarjihkan atau menetapkan hukum masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, yang memang penting dalam perjalanan Muhammadiyah. 1. Penyelidikan dan pembahasan tersebut, hendaklah berdasarkan al-Quran dan al-Hadits dengan berpedoman pada ushul fiqh yang dipandang mu’tabar, dan mementingkan riwayat dan maknanya; tidak mengutamakan aql di atas naql. Sejak itu dilakukan identifikasi terhadap berbagai masalah agama, seperti masalah ushalli, gambar, alat al-malahi (musik), kenabian sesudah Nabi Muhammad saw. dalam kaitannya dengan klaim Ahmadiyah Qadhiyan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah adalah seorang nabi, dan sebagainya. Muktamar Tarjih yang pertama diadakan pada tahun 1929 bersama-sama dengan Konggres Muhammadiyah ke-18 di Solo. Masalah-masalah yang telah teridentifikasi tersebut, kemudian dibahas dalam muktamar yang pertama ini, selanjutnya sisanya dikaji dalam muktamar-muktamar berikutnya. Adapun masalah pertama yang diputuskan kemudian disusun manjadi kitab, ialah kitab iman dan sembahyang, kemudian disusul masail syatta (macam-macam masalah) seperti masalah gambar, musik, lotre, api unggun, arak-arakan Aisyiyah dan sebagainya. Demikian muktamar-demi muktamar – belakangan diubah dengan istilah musyawarah nasional – dilakukan sehingga menghasilkan Himpunan Putusan Tarjih, dan Qaidah-qaidahnya dan termasuk Qaidah Pengembangan Pemikiran Islam. Struktur Majlis tersebut mengalami beberapa kali perubahan. Sedang sekarang ini Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) secara struktural terdiri dari MTPPI Pusat, Wilayah, dan Daerah. Masing-masing berfungsi sebagai pembantu – dan oleh karena itu berada di bawah – Pimpinan Muhamadiyah sesuai dengan tingkatannya. Tarjih : Secara teknis tarjih adalah proses analisis untuk menetapkan hukum dengan menetapkan dalil yang lebih kuat (rajih), lebih tepat analogi dan lebih kuat maslahatnya. Sedangkan secara institusional majlis tarjih adalah lembaga ijtihad jama’i (organisatoris) di lingkungan Muhammadiyah yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang meiliki kompetensi ushuliyah dan ilmiyah dalam bidangnya masing-masing. B. Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam 1. Sumber pemikiran Islam. Setiap disiplin keilmuan dibangun dan dikembangkan melalui kajian-kajian atas sumber pengetahuannya. Sumber pemikiran Islam adalah wahyu, akal, ilham atau intusi dan realitas. 2. Fungsi Pemikiran Islam. Pemikiran Islam dibangun dan dikembangkan untuk mendukung universalitas Islam sebagai petunjuk bagi manusia menuju kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual lebih berkaitan dengan persoalan-persoalan praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara kesalehan sosial berhubungan erat dengan persoalan-persoalan moralitas publik (public morality). Dalam wilayah kesalehan individual, pemikiran Islam berupaya memberikan kontribusi berupa petunjuk-petunjuk praktis keagamaan (religious practical guidance), ibadah mahdlan dan masalah-masalah yang menyangkut moralitas pribadi (private morality). Sedangkan dalam wilayah kesalehan sosial, pemikiran Islam merespon wacana kontemporer, seperti masalah sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial ekonomi, globalisasi dan lokalisasi, iptek, lingkungan hidup, etika dan rekayasa genetika serta bioteknologi, isu-isu keadilan hukum, ekonomi, demokratisasi, HAM, civil society, kekerasan sosial dan agama, geneder, dan pluralisme agama, sekaligus merumuskan dan melaksanakan terapannya dalam praksis sosial. 3. Metodologi Pemikiran Islam. Dalam Islam dikenal ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran ikhbary dan kebenaran nazary. Yang pertama adalam kebenaran wahyu yang datang langsung dari Allah swt.. Karena itu bersifat suci dan bukan obyek kajian dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah kebenaran yang diperoleh secara ta’aquly. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Islam tidak berada dalam ruang hampa. Nash-nash atau wahyu yang diintepretasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun audiensnya. Ada rentang waktu –dulu, kini, mendatang — di hadapan ketiga pihak di atas. Inilah yang disebut dengan lingkaran hermeneutis (hermeneutical circle); suatu perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci (al-nushushu al-mutanahiyah) yang dipandu oleh perubahan-perubaan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat. Dalam kontek yang terus berubah ini, kebutuhan akan cara pembacaan baru atas teks-teks dan realitas itu menjadi tak terelakkan. Dengan memahami lingkaran hermeneutis semacam ini, muslim tidak perlu mengulang-ngulang tradisi lama (turath) yang memang sudah usang untuk kepentingan kekinian dan kedisinian, tapi juga bukan berarti menerima apa adanya modernitas (hadathah). Kewajiban muslim adalah melalukan pembacaan atas teks-teks wahyu dan realitas itu secara produktif (al-qira’ah al-muntijah, bukan al-qira’ah al-mutakarrirah). 4. Prinsip Pengembangan Pemikiran Islam Manhaj peengembangan pemikiran Islam dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamanya, yaitu : a. Prinsip al-mura’ah (konservasi) yaitu upaya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul. Pelestarian ini dapat dilakukan dengan cara pemurnian (purification) ajaran Islam. Ruang lingkup pelestarian adalah bidang aqidah dan ibadah mahdhah. b. Prinsip al-tahdithi (inovasi) yaitu upaya penyempurnaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual masyarakat Islam sesuai dengan perkembangan sosialnya. Penyempurnaan ini dilakukan dengan cara reaktualisasi, reinterpretasi, dan revitalisasi ajaran Islam. c. Prinsip al-ibtikari (kreasi) yaitu penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konstraktif dalam menyahuti permasalahan aktual. Kreasi ini dilakukan dengan menerima nilai-nilai luar Islam dengan penyesuaian seperlunya (adaptatif). Atau dengan penyerapan nilai dan elemen luaran dengan penyaringan secukupnya (selektif). 5. Kerangka Metodologi Pengembangan Pemikiran Islam Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diprlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan bayani, irfani dan burhani, sesuai dengan obyek kajiannya –apakah teks, ilham atau realitas– berikut seluruh masalah yang menyangkut aspek tranhistoris, transkultural dan transreligius. Pemikiran Islam Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik. a. Pendekatan Bayani Pendekatan bayani sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha’, mutakallimun dan ushulliyun.Bayani adalah pendekatan untuk : a) memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau diendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan ‘ibarah yang zahir pula; dan b)istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur’an khususnya. Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara makna dan lafadl. Hubungan antara makna dan lafadz dapat dilihat dari segi : a)makna wad’i, untuk apa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna khas, ‘am dan mustarak; b) makna isti’mali, makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna haqiqah (sarihah dan mukniyah) dan makna majaz (sarih dan kinayah); c) darajat al-wudhuh, sifat dan kualitas lafz, meliputi muhkam, mufassar, nas, zahir, khafi, mushkil, mujmal, dan mutasabih; dan d) turuqu al-dalalah, penunjukan lafz terhadap makna, meliputi dalalah al-ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-nass dan dalalah al-iqtida’ (menurut khanafiyah), atau dalalah al-manzum dan dalalah al-mafhum baik mafhum al-muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut syafi’iyyah). Untuk itu pendekatan bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbabu al-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai metodenya. Sementara itu, kata-kata kuncu (keywords) yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asl – far’ – lafz ma’na (mantuq al-fughah dan mushkilah al-dalalah; dan nizam al-kitab dan nizal al-aql), khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf). Dalam al-qiyas al-bayani, kita dapat membedakannya menjadi tiga macam : 1)al-qiyas berdasarkan ukuran kepantasan antara asl dan far’ bagi hukum tertentu; yang meliputi al-qiyas al-jali; b) al-qiyas fi ma’na al-nass; dan c) al-qiyas al-khafi; 2)al-qiyas berdasarkan ‘illat terbagi menajdi : a)qiyas al-’illat dan b) qiyas al-dalalah; dan 3) al-qiyas al-jama’i terhadap asl dan far’. Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bayan : 1) Bayan al-i’tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a) al-qiyas al-bayani baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq; 2) Bayan al-i’tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan makna bathil; 3) Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan 4) bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib ‘aqd, katib hukm, dan katib tadbir. Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. b. Pendekatan Burhani Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum – hukum logika. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz’iy, jauhar-’arad, ma’qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis. Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu ilmu al-lisan dan ilmu al-mantiq. Yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafz al-dalalah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut. Sedangkan yang terakhir membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inserawi dan hubungan yang tetap diantara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya. ‘Ilmu al-mantiq juga merupakan alat (manahij al-adillah) yang menyamaikan kita pada pengetahuan tentang maujud baik yang wajib atau mumkin, dan maujud fi al-adhhan (rasionalisme) atau maujud fi al-a’yan (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; mantiq mafhum (mabhath al-tasawwur), mantiq al-hukm (mabhath al-qadaya), dan mantiq al-istidlal (mabhath al-qiyas). Dalam perkembangan modern, ilmu mantiq biasanya hanya terbagi dua, yaitu nazariyah al-hukm dan azariyah al-istidlal. c. Pendekatan ‘Irfani Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain : ‘ilmu atau ma’rifah; metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-’irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai 1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur’ani dan memperluas ‘ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan ‘arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan ‘ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma’rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur’an. Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma’rifah ‘irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan mmenemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst; b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) surah dan ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan ‘irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum ‘irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari’ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta’wil). Contoh konkrit dari pendekatan ‘irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah. Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur’an merupakan contoh konkret dari pengetahuan ‘irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan ‘irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba’ al-Rasul Dapat dikatakan, meski pengetahuan ‘irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima “pengalaman”. Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain. Implikasi dari pengetahuan ‘irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah mengahmpiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah. C. Catatan terhadap Manhaj 1. Dalam bagian Pengertian Umum, manhaj yang baru ini mengubah istilah al-sunnah al-shahihah, menjadi al-sunnah al-maqbulah sebagai sumber hukum sesudah al-Qur`an. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa secara obyektif, majlis tidak hanya menggunakan hadits kategori shahih, tetapi juga hasan. Dalam bagian ini juga dikemukakan bahwa Muhamadiyah membolehkan talfiq yaitu menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syar’iy dengan syarat sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih. 2. Manhaj menentukan posisi ijtihad sebagai metode bukan sumber hukum, sedang fungsinya adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Ini berarti bahwa jika syari’at dimaknai sebagai hukum yang secara langsung terdapat dalam kedua sumber di atas, maka ijtihad dipergunakan untuk merumuskan hukum yang tidak terdapat secara langsung dalam al-Quran dan al-Sunnah. Dengan kata lain, ruang lingkup ijtihad meliputi masalah-masalah yang terdapat dalam dalil yang dhanniy dan masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Qur`an dan atau al-Sunnah. 3. Ijtihad meliputi metode bayani yaitu metode yang menggunakan kaidah kebahasaan; metode ta’lili, yaitu metode yang menggunakan pendekatan ‘illah hukum; dan metode istishlahi, yaitu metode yang menggunakan pendekatan kemaslahatan. Dalam hal ini manhaj tidak menjelaskan jika terjadi perbedaan hasil penetapan hukum terhadap satu masalah karena adanya penggunaan metode yang berbeda. Mana di antara ketiga metode tersebut yang diprioritaskan. Dalam hal ini sebaiknya, untuk perkara yang akal manusia tidak dapat menjangkau ‘illah dan kemaslahatannya, metode bayani harus diprioritaskan. 4. Manhaj menentukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, yaitu: hermeneutika, sejarah, sosiologis, dan antropologis. 5. Sementara itu, ijma’, qiyas, mashlahah mursalah, serta ‘urf, dipandang sebagai teknik penetapan hukum. Manhaj tidak memberikan penjelasan lebih jauh tentang hal ini. Padahal, misalnya untuk ijma’, jika dipandang sebagai teknik, maka berarti Muhammadiyah dapat memutuskan suatu hukum berdasarkan kesepakatan ulama-ulama persyarikatan. Ini tentu berbeda dengan pengertian ijma’ yang dikenal dalam ilmu ushul fiqh yang menuntut kesepakatan seluruh ulama dalam suatu kurun waktu tertentu. Lain halnya jika ijma’ dimaknai sebagai produk kesepakatan semua ulama dalam suatu kurun waktu, bukan sebagai teknik, maka produk tersebut mengikat warga Muhammadiyah. Sekalipun istihsan dan sadd al-dzari`ah tidak disebutkan, tampaknya tidak berarti keduanya tidak dipakai. Hal ini didasarkan adanya kenyataan bahwa keduanya juga didasarkan atas prinsip kemaslahatan yang dipandang sebagai salah satu metode penetapan hukum. 6. Ta’arudl al-adillah menurut manhaj diselesaikan secara hirarkis melalui al-jam’u wa al-taufiq; al-tarjih; al-naskh; al-tawaqquf. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa dengan demikian Majlis Tarjih secara tidak langsung mengakui adanya nasikh mansukh. Mengenai urutan prioritas di atas, tampaknya perlu dipertimbangkan untuk mendahulukan naskh sebelum menyelesaiakan ta’arudl melalui tarjih, karena jika diketahui batas waktu berlakunya suatu hukum, maka dengan lewatnya waktu tersebut, berlakulah hukum sebaliknya secara otomatis. Dengan demikian tidak perlu lagi kepada tarjih. 7. Tarjih terhadap nashsh harus mempertimbangkan beberapa segi: a. segi sanad ( kualitas dan kuantitas rawi, bentuk dan sifat periwayatan, sighat tahammul dan wa al-ada` b. segi matan (mendahulukan sighat nahy daripada amr; shighat khashsh daripada ‘am). c. segi materi hukum. d. Segi eksternal. e. Untuk hal-hal yang tidak diubah oleh manhaj hasil Munas Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam tahun 2000 M di Jakarta, masih tetap berlaku. Hal-hal yang tidak diubah tersebut ialah: a) Mendasarkan akidah hanya kepada dalil mutawatir. b) Pemahaman terhadap al-Quran dan al-Sunnah dilakukan secara komprehensif dan integral. c) Peran akal dalam memahami teks al-Quran dan al-sunnah dapat diterima. d) Qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah mahdlah dan masalah yang sudah ada nashsh sharihnya dari al-Quran dan atau al-Sunnah. e) Untuk memahami nashsh yang musytarak, paham shahabat dapat diterima. f) Mendahulukan makna dhahir daripada ta`wil dalam bidang akidah, dan ta`wil shahabat tidak harus (? Pen.) diterima. g) Takhshish al-Kitab bi al-Sunnah dapat diterima. h) Hadits mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali yang dihukumi marfu’. i) Hadits mursal shahabiy dapat dijadikan hujjah. j) Hadits mursal tabi’iy semata tidak dijadikan hujjah, kecuali jika terdapat petunjuk adanya kebersambungan sanad. k) Hadits mudallas tidak dapat dijadikan hujjah , kecuali apabila ada petunjuk bahwa hadits tersebut muttashil. l) Hadits dlaif yang kuat menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika banyak jalannya dan terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa hadits itu berasal dari Nabi saw. dan tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan hadits shahih. m) Jika terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil, didahulukan jarh dengan dasar keterangan yang jelas dan sahih menurut syara’. Sekalipun sudah agak memadai manhaj yang ditetapkan oleh Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, tetapi jelas masih diperlukan berbagai penyempurnaan dan kelengkapan yang dapat meliputi: koreksi terhadap adanya kontradiksi satu sama lain; peninjauan kembali terhadap beberapa manhaj; penjabaran lebih jelas dan luas; dan sebagainya D. Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah 1. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Qur'an dan as-Sunnah ash-Shahihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta'abbudi, dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nash-nya secara langsung. 2. Dalam memutuskan suatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad digunakan sistem ijtihad jama'i. Dengan demikian pendapat perorangan dari majelis tidak dapat dipandang kuat. 3. Tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur'an dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. 4. Berprinsip terbuka dan toleran, dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang lebih kuat. Dan koreksi dari siapapun akan diterima sepanjang dapat memberikan dalil-dalil yang lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis tarjih akan mempertimbangkan untuk mengubah keputusan yang telah ditetapkan. 5. Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawattir. 6. Tidak menolak ijma' sahabat, sebagai dasar suatu keputusan. 7. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta'arud dipergunakan cara: al-jam'u wa'l-tawfiq. Dan kalau tidak dapat, baru dilakukan tarjih. 8. Menggunakan asas sadd-u'l-dzara'i untuk menghindari terjadinya fitnah dan masfsadah. 9. Menta'lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur'an dan as-Sunnah sepanjang sesuai dengan tujuan syari'ah. Adapun qaidah: a-hukmu yadiru ma'a illatihi wujudan wa'adaman dalam hal-hal tertentu dapat berlaku. 10. Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah. 11. Dalil-dalil umum al-Qur'an dapat ditakhsis dengan hadits ahad kecuali dalam bidang aqidah. 12. Dalam mengamalkan agama Islam, menggunakan prinsip al-tayir 13. Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-Qur'an dan as-Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal, sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi. 14. Dalam hal-hal yang termasuk al-umur-u dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat. 15. Untuk memahami nash yang musytarak, faham sahabat dapat diterima. 16. Dalam memahami nash, makna dhahir didahulukan dari ta'wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal itu, tidak harus diterima. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tarjih : Secara teknis tarjih adalah proses analisis untuk menetapkan hukum dengan menetapkan dalil yang lebih kuat (rajih), lebih tepat analogi dan lebih kuat maslahatnya. Setiap disiplin keilmuan dibangun dan dikembangkan melalui kajian-kajian atas sumber pengetahuannya. Sumber pemikiran Islam adalah wahyu, akal, ilham atau intusi dan realitas. Pemikiran Islam dibangun dan dikembangkan untuk mendukung universalitas Islam sebagai petunjuk bagi manusia menuju kesalehan individual dan kesalehan sosial. Dalam Islam dikenal ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran ikhbary dan kebenaran nazary. Yang pertama adalam kebenaran wahyu yang datang langsung dari Allah swt. Karena itu bersifat suci dan bukan obyek kajian dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah kebenaran yang diperoleh secara ta’aquly. Manhaj peengembangan pemikiran Islam dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamanya, yaitu : Prinsip al-mura’ah , Prinsip al-tahdithi , Prinsip al-ibtikari Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran: Pendekatan Bayani, Pendekatan Burhani, Pendekatan ‘Irfani Dalam bagian Pengertian Umum, manhaj yang baru ini mengubah istilah al-sunnah al-shahihah, menjadi al-sunnah al-maqbulah sebagai sumber hukum sesudah al-Qur`an. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa secara obyektif, majlis tidak hanya menggunakan hadits kategori shahih, tetapi juga hasan. Manhaj menentukan posisi ijtihad sebagai metode bukan sumber hukum, sedang fungsinya adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Qur'an dan as-Sunnah ash-Shahihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta'abbudi, dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nash-nya secara langsung. Dalam memutuskan suatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad digunakan sistem ijtihad jama'i. Dengan demikian pendapat perorangan dari majelis tidak dapat dipandang kuat. DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata. 2002. “Metodelogi Pemikiran Islam”. Jakarta. Bumi aksar Zuhairini. Dkk. 2000. “Perkembangan Pemikiran Islam”. Jakarta. Bumi aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar